Saat pertama kali aku mengenal Molly, ia langsung menjadi sahabatku.
Kami menyukai hal yang sama, tertawa menikmati lelucon yang sama, dan
bahkan sama-sama mencintai bunga matahari.
Seakan kami saling menemukan pada waktu yang tepat. Sebelumnya kami
berdua bergabung dalam dua kelompok main yang berlainan yang tidak rukun
atau tidak cocok. Kami sangat bergembira saling berkenalan.
Persahabatan kami tumbuh menjadi sangat erat. Keluarga kami pun menjadi
bersahabat, dan semua orang tahu di mana ada Molly, di situ pulalh aku
berada, dan sebaliknya. Di kelas lima kami tidak sekelas, tapi pada
waktu istirahat, kami duduk bersama di kursi yang sudah ditentukan dan
saling mengobrol. Para petugas kantin tidak menyukai ini. Kami selalu
menghalangi jalan, bicara terlalu keras dan tidak menyantap makanan
siang kami, tapi kami tidak peduli. Para guru tahu kami bersahabat, tapi
kami juga menganggu. Mulut kami yang sembarangan bicara sering
menyusahkan kami, dan kami diperingatkan tak akan pernah didudukkan
sekelas lagi kalau terus seperti ini.
Pada musim panas itu, Molly dan abangnya sering bermain di rumahku.
Ibuku mengurus mereka pada waktu ibu mereka bekerja. Kami berenag,
bermain di luar dan berlatih bermain suling. Kami membeli liontin
persahabatan dan mengenakannya sesering mungkin.
Musim panas berlalu dengan cepat, dan sekolahpun dimulai. Sebagaimana
yang telah diperingatkan para guru, kami tidak duduk sekelas. Kami masih
suka ngobrol di telepon, saling berkunjung, bernyanyi dalam paduan
suara, dan berlatih meniup suling bersama dalam band. Tak ada yang bisa
memisahkan persahabatan kami.
Kelas tujuh dimulai, dan lagi-lagi kami tidak sekelas dan tidak bisa
duduk berdekatan saat beristirahat makan siang. Seakan kami berdua
sedang diuji. Kami sama-sama mempunyai teman baru. Molly mulai sering
bermain bersama kelompok bermain yang baru dan ia semakin populer.
Kami jarang melewatkan waktu bersama, dan juga semakin jarang ngobrol di
telepon. Di sekolah aku berusaha berbicara dengannya, tapi ia tak acuh.
Kalaupun kami punya sedikit waktu untuk bicara, salah seorang temannya
yang populer itu akan muncul dan Molly akan bersamanya, meninggalkan aku
sendiri, sungguh menyakitkan.
Aku sangat bingung. Aku yakin ia tak menyadari pada waktu itu betapa
sakit hatiku, tapi bagaimana bisa aku menceritakan hal itu kepadanya
kalau ia tak mau mendengarkan? Aku mulai bermain bersama teman-teman
baruku, tapi keadaannya tidak sama. Aku berkenalan dengan Erin, yang
juga teman Molly. Ia dan Molly pernah bersahabat, dan kemudian Molly
memperlakukannya seperti sekarang ia memperlakukan diriku. Kami
memutuskan untuk bicara kepadanya.
Percakapan di telepon itu bukan hal yang mudah. Membicarakan betapa
hatiku sakit sangatlah sulit. Aku sangat khwatir menyakiti perasaannya
dan membuatnya marah. Tapi sungguh mengherankan - saat kami berdua
ngobrol di telepon, kami berteman lagi. Ia kembali menjadi Molly yang
sama.
Kujelaskan bagaimana perasaanku, ia juga menjelaskan perasaannya. Baru
aku sadarai bahwa aku bukan satu-satunya yang terluka. Ia juga kesepian
tanpa kehadiranku sebagai teman ngobrol. Apa yang harus dilakukannya?
Jangan mempunyai teman baru? Tak pernah hal itu terpikirkan olehku, tapi
ia merasa ditinggalkan olehku dan teman-teman baruku. Ternyata akupun
pernah mengabaikannya secara tak sadar. Tampaknya kami ngobrol lama
sekali di telepon, karena setelah obrolan kami selesai, aku telah
menghabiskan banyak tisu untuk menghapus air mataku. Kami berdua
memutuskan tetap bermain bersama teman-teman baru kami masing-masing,
tapi kami tak akan pernah melupakan keceriaan dan persahabatan kami.
Aku takkan pernah melupakannya. Molly telah mengajariku sesuatu yang
penting. Ia mengajariku bahwa keadaan bisa berubah, orang bisa berubah,
tapi itu tidak berarti kita melupakan masa lalu atau berusaha
menutup-nutupinya.
Sumber: http://blog.codingwear.com/bacaan-124-Cerpen-Sahabat-Selamanya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar